Sabtu, 1 Februari 2014. hari itu aku pulang kampung ke Berangas, ikut dengan kakakku. Dia ada acara maulidan di sekolah yang dia ajar. Semuanya berjalan biasa, sampai kakakku pada siang harinya membawa nasi bungkus dari acara maulidan di sekolahnya. Nasi bungkus itu dibuat oleh siswa siswi sekolah kakakku. Mamaku membuka nasi yang dibawa itu sampai beliau mendapatkan nasi bungkus yang lauknya cukup berbeda dengan yang lainnya. Nasinya seperti nasi kuning kebanyakan, memakai santan dan kunyit, namun yang cukup membuat aku dan mamaku cukup terkejut sekaligus bingung, telur yang dijadikan lauk nasi bungkus itu telur yang masih ada kulitnya dan berwarna merah muda memakai pewarna tekstil. Itu bukanlah hal seperti lauk kebanyakan. Biasanya jika nasi kuning memakai lauk telur, maka telurnya direbus dan dikupas kulitnya, lalu telur tersebut dicampur dengan bumbu bumbu seperti bawang merah, bawang putih, cabai merah dan sebagainya.
Entah ada apa sebenarnya dengan telur itu, tapi mamaku menyebutkan ada dua kemungkinan. Yang pertama, mama si anak yang membuat nasi bungkus ini tidak bisa memasak, dan yang kedua si anak ini tidak punya ibu yang memasakkan telur itu untuknya sehingga dia memasak sendiri. Opsi yang pertama, aku kurang yakin, karena seorang ibu akan mengusahakan bagaimana caranya agar dia bisa membuat nasi bungkus, walaupun dengan bertanya jika dia tidak tau dan berhutang bila dia tidak punya uang. Mamaku mempercayai opsi kedua begitu juga aku. Mungkin anak ini tidak punya ibu. Aku tau ini hanyalah tebakan semata, namun pikiran berusaha berimajinasi dan memikirkan kemungkinan tersebut, dan tiba tiba ada suatu rasa yang sulit ku gambarkan jika memikirkan kemungkinana jika si anak ini tidak punya ibu. Di antara puluhan murid yang diharuskan membawa nasi bungkus, mungkin bagi murid lain tidak masalah, toh bisa beli atau dibuatkan mama mereka. Namun bagaimana dengan anak ini, mungkin dia bingung memikirkan cara membuatnya, mungkin dia juga tidak punya uang untuk membeli. Lalu dia membuatnya sesuai dengan apa yang dilihatnya. Nasi kuning dan bumbu merah. Dan jadilah nasi kuning dengan lauk telur yang masih ada kulitnya berwarna merah muda dengan pewarna tekstil. Ini hanya kemungkinan yang telalu ku lebih lebihkan. Pasti ada opsi lainnya, bisa saja orang tuanya masih ada dan orang mampu. Tapi hari itu di balik sebutir telur berwarna merah muda, aku bersyukur masih memiliki ibu, yang bisa memasak nasi bungkus dengan telur bumbu cabai merah.
Kupandangi photonya, kujadikan wallpaper di handphoneku. Kupandangi dengan lekat wajah mungilnya. Aku masih ingat bagaimana mencium dan memeluk tubuhnya untuk yang pertama dan terakhir. Aku masih ingin memeluknya, ingin memperlihatkan rumah baru kami, ingin menyusuinya, ingin mendekapnya di dadaku, ingin menunjukkan cahaya matahari, ingin memperlihatkan pohon-pohon, aku ingin menunjukkan semuanya, tapi sudah tidak bisa. Aku kehilangan, ada yang terasa kosong. Aku tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, aku harus ikhlas, waktu mungkin akan menyembuhkan, tapi dadaku terasa sakit setiap memandangi photo-photonya, mendengar bunyi alat-alat yang terpasang di badannya membuatku merasa sakit, bagaimana anakku yang merasakannya langsung. Andai waktu bisa diulang, andai... Aku ingin memperbaiki semuanya, supaya anakku tidak terlahir prematur, supaya dia lahir dengan sehat, supaya dia bisa kubawa pulang langsung ketika lahir layaknya ibu-ibu yang lain. Supaya aku bisa pulang mengengd...
Komentar
Posting Komentar