Sore menjelang senja itu maran masih berkutat di depan meja komputer kantornya, jari-jarinya lihai menari di atas keyboard mengetikkan naskah pidato yang diminta, yang dirombak hingga beberapa kali, dia sampai lupa makan siang, bahkan ketika suara adzan sudah terdengar dia masih di atas motornya menuju pulang. Malam itu dia kelelahan, hingga jatuh tertidur hingga makan malam pun terlewatkan.
Ketika pagi beranjak, Maran asyik menyikat toilet kantor sembari menyiram cairan pembersih lantai, satu dua buah lagu dia dendangkan untuk mengusir senyap, di kantor hanya ada dia pagi itu. Dia juga menyapu serta mengepel lobi dan teras kantornya. Ya, itu memang sudah tugasnya, sama seperti teman sekantornya yang lain, yang punya area tersendiri untuk dibersihkan.
Kepalanya sedikit pusing namun tak dia hiraukan, dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, pulang ke rumah untuk mandi dan kembali lagi ke kantor. Namun saat di rumah, kepalanya semakin berkunang-kunang, perutnya mual, segera dia berlari ke kamar mandi. Maran muntah, tak banyak muntahan yang keluar, hanya air dan sedikit kue yang dia makan pagi tadi. Maran merebahkan dirinya di ubin, kasur terlalu jauh untuk di jangkau sedangkan kepalanya sudah begitu pusing, meski sudah merebahkan tubuhnya di ubin yang dingin, pusingnya tak sembuh. Maran mencoba menutup matanya, itu juga tak mengurangi pusingnya, malah semakin berkunang-kunang, rasanya semuanya berputar-putar. Tubuhnya lemah, perutnya terkuras, namun tak mungkin ijin masuk bekerja, hari ini ada acara di kantor. Sehabis mandi dan menyantap makanan, maran berangkat, dibungkusnya tubuhnya dengan sehelai jaket, tubuhnya masih menggigil. Sesampainya di kantor, maran dipanggil, tidak sekedar dipanggil, namun tepatnya dibentak dan di suruh untuk kembali ke ruangan karna dianggap tidak menyelesaikan pekerjaan. Maran hanya tertunduk lesu, dia pikir tugasnya sudah selesai bahkan sampai pulang menjelang magrib, ternyata tidak, dia juga ingin bilang punya tugas bersih-bersih di pagi hari dan tak mungkin ditinggalkan dan juga perihal dia yang muntah tadi, tapi dia urungkan. Ya dia salah, salahnya yang tidak makan siang dan makan malam, salahnya kenapa pulang kembali ke rumah untuk mandi setelah mandi keringat membersihkan toilet, lobi serta teras kantor, salahnya karena sakit, dia salah. Maran merasa dia terlalu banyak alasan, Maran menyalahkan dirinya, namun satu sisi dirinya ingin dipahami jika dia saat itu sedang sakit tapi ah sudahlah. Dia sedih.
Maran semestinya tidak mengingat momen itu, momen baiknya jauh lebih banyak ketimbang hal itu, dan dia juga paham, itu membentuk dirinya yang sekarang, hanya saja... momen itu cukup membekas diingatannya😊.
Kupandangi photonya, kujadikan wallpaper di handphoneku. Kupandangi dengan lekat wajah mungilnya. Aku masih ingat bagaimana mencium dan memeluk tubuhnya untuk yang pertama dan terakhir. Aku masih ingin memeluknya, ingin memperlihatkan rumah baru kami, ingin menyusuinya, ingin mendekapnya di dadaku, ingin menunjukkan cahaya matahari, ingin memperlihatkan pohon-pohon, aku ingin menunjukkan semuanya, tapi sudah tidak bisa. Aku kehilangan, ada yang terasa kosong. Aku tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, aku harus ikhlas, waktu mungkin akan menyembuhkan, tapi dadaku terasa sakit setiap memandangi photo-photonya, mendengar bunyi alat-alat yang terpasang di badannya membuatku merasa sakit, bagaimana anakku yang merasakannya langsung. Andai waktu bisa diulang, andai... Aku ingin memperbaiki semuanya, supaya anakku tidak terlahir prematur, supaya dia lahir dengan sehat, supaya dia bisa kubawa pulang langsung ketika lahir layaknya ibu-ibu yang lain. Supaya aku bisa pulang mengengd...
Komentar
Posting Komentar