Bukan main gatalnya tanganku untuk mengetik kalimat balasan di sebuah debat yang berasal dari status seseorang. Rasanya ingin kulontarkan bukti-bukti pendukung atas pendapat yang kusampaikan. Ya, aku dan orang tersebut berbeda pendapat tentang suatu hal. Satu dua kali balasan yang ku tuliskan di kolom komentar, bukannya mereda namun sepertinya masalahnya menjadi semakin melebar. Ya itu tadi tanganku jadi gatal akibat egoisku yang tak senang jika pendapatku disanggah dengan keras. Ku coba memikirkan jawaban atas pendapat yang dituliskannya, beberapa tulisan ku hapus kembali, mencoba menyusun kalimat yang tidak akan menimbulkan interpretasi lain dan bisa segera mengakhiri perdebatan itu. Namun beberapa pemikiran menghentikanku untuk melanjutkan perdebatan itu. Dan aku memilih berhenti.
Bahan yang kami perdebatkan hanyalah persoalan kecil yang menjadi besar akibat ketidaktahananku untuk berkomentar dan ternyata si empu status tak terima dan mendebat balik mencoba mempertahankan pendapatnya. Begitu juga aku, melihat reaksi keras maka meradanglah aku. Namun kuputuskan untuk berhenti. Ku coba lupakan soal rasanya bisa memenangkan perdebatan itu karena setelah kupikir-pikir ilmuku belum semampu itu untuk berdebat. Ku coba alihkan pikiranku ke hal lain yang bisa mencegah tanganku mengetik balasan dari komentarnya. Ku cari dalil mengenai pandangan islam mengenai berdebat di internet karena aku tak terlalu paham dengan hadist-hadist dan makna ayat-ayat Al-qur'an. Ya, aku mencarinya untuk menahanku agar aku tak terlalu jauh berdebat dan alhamdulillah ku temukan jawabannya.
1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam
“ Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar
surga bagi orang yang meninggalkan debat
meskipun dia berada dalam pihak yang
benar . Dan aku menjamin sebuah rumah di
tengah surga bagi orang yang meninggalkan
dusta meskipun dalam keadaan bercanda.
Dan aku akan menjamin sebuah rumah di
bagian teratas surga bagi orang yang
membaguskan akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab,
hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani
dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)
2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada
putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat
karena ragu-ragu dan menentang) itu,
karena manfaatnya sedikit. Dan ia
membangkitkan permusuhan di antara
orang-orang yang bersaudara.”
[Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul
Iman: 1897]
3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa
“Cukuplah engkau sebagai orang zhalim
bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah
dosamu jika kamu selalu menentang, dan
cukuplah dosamu bila kamu selalu
berbicara dengan selain dzikir kepada
Allah.”
[al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]
4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu
“Engkau tidak menjadi alim sehingga
engkau belajar, dan engkau tidak disebut
mengerti ilmu sampai engkau
mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila
kamu selalu mendebat, dan cukuplah
dosamu bila kamu selalu menentang.
Cukuplah dustamu bila kamu selalu
berbicara bukan dalam dzikir tentang
Allah.”
[Darimi: 299]
Kutipan di atas adalah situs pencarian pertama setelah kuketikkan pandangan islam tentang berdebat. Terlepas benar tidaknya tulisan tersebut, sudah memberikanku alasan untuk menghentikan perdebatan itu. Ya itu tadi selain ilmuku yang masih sangat sedikit, bisa menimbulkan permusuhan, pokoknya banyak mudharatnya bagiku. Jadi ya sudah lah, semoga engkau yang tadi berdebat denganku di media sosial bisa menerima pendapatku yang BERBEDA darimu sebagai suatu warna yang diciptakan oleh Allah dari perbedaan latar belakang kehidupan manusia. Dan untukku semoga bisa menjadi lebih sabar saat melihat orang pemikirannya tidak sama denganku, menjauhi debat, dan senantiasa belajar untuk menambah ilmu pengetahuan. Amin....
Komentar
Posting Komentar